Bad Dream

It's just a bad dream, not a bad day. It's just a bad day, not a bad life.



Aku mengalami mimpi yang sangat buruk kemarin malam. Dalam mimpiku, aku mengejar seorang gadis kecil menaiki anak tangga menuju atap gedung berlantai lima. Ia bilang ingin melihat kembang api dari sana. Aku tidak tau ada di mana saat itu. Yang kuingat gedung itu sangat gelap dengan dua pintu besar di depan tangga setiap lantainya.

Di lantai kedua, aku mencoba membuka pintunya, tapi terkunci. Sampai di lantai empat, dari jendela aku melihat ada anak kecil lainnya di seberang gedung di mana aku berada. Bila kalian pernah menonton film horor Annabelle pasti kalian bisa membayangkan rupa anak kecil di seberang gedung itu. Ia mengenakan dress hitam dengan topi kecil hitam. Wajahnya putih pucat yang kontras dengan bola mata sepenuhnya hitam. Mata hitamnya menatapku tanpa berkedip.

Dengan penuh ketakukan aku meminta gadis kecil di depanku untuk kembali turun. Aku menggenggam tangannya dan perlahan mempercepat langkah. Baru sampai di lantai tiga gadis kecil itu berhenti dan menatapku dengan tatapan kosong. Ia mengatakan tidak mampu berjalan lagi. Mata dan senyumnya seperti kerasukan. Aku tahu itu. Lalu aku memilih menggendongnya dan berlari secepat yang kubisa. Kami berhasil sampai di lantai satu. Tapi pintunya terkunci. Aku berteriak dan mencoba membuka paksa pintu itu. Aku ketakutan. Berada di gedung kosong berhantu dan bersama seorang gadis kecil kerasukan. Kaki dan tanganku gemetar hebat.

Lalu secara ajaib aku sudah berada di sisi lain pintu keluar gedung. Langit gelap dan udaranya mengingatkanku pada Silent Hill. Aku sendirian, bersama beberapa tas yang juga secara ajaib muncul. Secepat kilat aku berlari menjauhi bangunan itu menuju jalan raya. Jalanan itu ramai, mengingatkanku pada pasar di kampung halaman ibuku di Belik, bagian selatan kota Pemalang.
Aku begitu mengenalnya sekaligus merasa asing di sini. Aku masih sangat ketakutan.

Adzan subuh menyelamatkanku dari mimpi buruk. Pukul empat lebih lima. Kamarku gelap pekat. Aku ingin beristighfar tapi tidak sanggup. Akhirnya kurapalkan dalam hati. Aku juga meludah tiga kali ke kiri. Namun perasaan horor masih melingkupiku. Sejenak aku terdiam menatap jendela kamar yang tidak kututup tirainya. Hanya ada kegelapan di sana.

🕸

Pukul enam sore dan aku masih berkutat di depan layar komputer. Naskah film dokumenter yang kutulis sejak semalam terancam hilang. Tiba-tiba saja komputerku auto-restart sebelum aku sempat menyimpan file berharga itu. Beruntung, saat membuka aplikasi word mereka menampilkan jendela recovery. Tapi ternyata takdir tidak membuat ini menjadi lebih mudah. Flashdisk yang kusambungkan membuat komputerku hang selama beberapa menit sampai akhirnya aku gagal menyimpan fileku di benda kecil itu.

Setengah jam kemudian aku berangkat ke kampus. Kelasku pasti sudah dimulai. Saat membuka pintu rumah, hujan yang sejak sore mengguyur justru semakin deras. Oh Tuhan.. Aku menggumamkan nama-Mu diikuti sebuah umpatan. Sedetik kemudian beristighfar dan bergegas mengenakan mantel anti hujan.

Dalam perjalanan aku mendapatkan kecelakaan kecil yang kembali menyita waktu. Tertabrak pengendara lain dari belakang. Jujur saja, ini adalah hal yang menyebalkan. Ayolah! Tidak bisakah orang lain saja yang tertabrak? Aku kembali mengumpat dengan tangan gemetar kedinginan. Wajahku basah dan mataku memerah diguyur hujan. Semenit kemudian salah satu teman sekelasku -Dewi, menelpon dan menanyakan keberadaanku. Kukatakan aku mengalami kecelakaan dan memintanya mengatakan pada dosen kami untuk menungguku. Menunggu naskah ini.

Sesampainya di kampus aku langsung melompat dari motor. Dengan setengah berlari menuju kelas. Ada dua panggilan tak terjawab dari Dewi. Lalu aku mengirimkannya pesan menanyakan apakah kelas sudah selesai. Saat akan menaiki tangga aku terdiam. Semua lampu dimatikan membuat anak-anak tangga tidak terlihat. Aku menyalakan senter dari handphone. Beberapa temanku memang suka usil mematikan lampu di tangga. Suasana saat itu begitu sepi. Tapi aku masih dapat mendengar suara dosen dan teman-temanku dari bawah sini.

Kelasku berada di lantai dua. Di depan tangga ada dua pintu besar menuju lorong. Kubuka pintu dan segera ke kelas. Kosong. Dewi belum membalas pesanku. Kutelepon, tidak diangkat. Lalu aku memutuskan untuk turun. Saat ku cek, jam menunjukkan pukul 19.42. Kelasnya pasti sudah bubar, pikirku. Hari ini benar-benar sial. 13 Jumat bahkan masih dua minggu lagi.

Saat turun aku menyadari satu hal: tangga ini sama seperti dalam mimpiku! Bahkan bangunan ini juga berlantai 5 termasuk atap. Sama persis seperti dalam mimpiku. Tanpa menengok jendela aku berlari turun.

Di halaman aku baru menyadari kampus ini sudah sepi dari mahasiswa lain. Lalu suara siapa yang kudengar tadi? Aku basah kuyup selama di jalan. Tapi bahkan tidak ada tanda-tanda hujan pernah turun di sini. Kabut perlahan turun dari langit. Aku seperti telah pindah ke Silent Hill. Tanpa menengok ke kanan aku berlari meninggalkan kampus. Aku tahu anak kecil itu di sana. Ia sedang menatapku.



(True story with a little modification)

Comments

Popular Posts