Bagaimana Jika


Pernahkah kamu, pada suatu paragraf dalam buku yang kamu baca, bukan imajinasi tentang penggambaran cerita yang muncul di kepalamu namun justeru kenangan yang mengambang naik ke permukaan ingatan?

Aku pernah. Barusan.

Pada halaman ke-15 paragraf ketiga. Saat aku membaca kata ‘mencubit’, yang muncul di kepalaku adalah momen di mana aku tertawa dan memukul bahu seorang lelaki yang kukenal dalam waktu singkat. Namun ia juga kulupakan dengan segera.

Entah mengapa kenangan itu muncul. Aku sedang tidak memikirkan apapun hari ini. Selain perasaan bersalah karena membatalkan janji bertemu seorang teman di kampus. Aku bahkan tidak punya uang untuk membayar parkir. Kering rasanya kerongkonganku mengingat-ingatnya hingga siang ini.

Ia adalah salah satu dari kesalahan yang kulakukan dalam berkomunikasi dengan lawan jenis. Aku tidak akan menyebutnya ‘hubungan romantisme’ karena aku tidak pernah jatuh cinta padanya. Hanya sebatas teman yang cukup asik karena kami memiliki hobi yang sama.

Tapi mungkin ia punya kepercayaan diri yang tinggi saat memintaku untuk jangan jatuh cinta padanya. Aku mendecih ingin meludah. Kutinggalkan ia tanpa hasrat balik bertanya atau menjawab permintaannya.

Kini ia telah menikah. Mungkin anaknya sudah belajar berjalan. Aku tahu karena ia cukup aktif mempublikasikan hidupnya di media sosial.

Aku menyesal mengetahui fakta bahwa aku pernah memukul bahunya saat tertawa. Seharusnya hal itu jangan kulakukan. Seharusnya aku lebih mengontrol diri. Bukankah itu terlalu lancang? Iya kah? Ia kemudian membangun asumsi yang terasa masuk akal atas kontak fisik yang kulakukan. Lalu menjadi sebuah masalah di antara dua manusia.

Bagaimana jika pukulan ringan di bahu itu tidak kulakukan, akankah kami masih berteman?

Comments

Popular Posts