Kopi, Hujan, dan Buku




Seperti dikisahkan Laila kepadaku,

Kopi
Aku menikmati hidup yang membuatku jarang tersenyum: pahit, persis seperti ampas kopi bapak. Berandai-andai bukanlah kebiasaanku namun terkadang aku melakukannya di hari yang benar-benar buruk. Ketika pada suatu pagi kami menemukan bapak tidak kembali bangun setelah sepuluh hari sebelumnya tidak bisa tidur. Atau ketika dua pria brengsek melakukan kejahatan terhadapku (aku harap mereka segera ke neraka). Itulah sebab kenapa aku menyukai kopi di pagi hari. Aku mengawali hariku dengan secangkir kepahitan dan sedikit manisnya gula, semoga di sisa hari aku akan terbiasa dengan apapun kenyataan yang akan datang, pahit atau manis.

Beruntung hidup tidak selalu mengejekku dengan takdir buruk, sering juga kutemui hari yang manis bagai madu. Saat itu hari kelulusanku di Sekolah Menengah Atas, kutemukan salah satu nilai ujian mendapat angka sempurna. Atau saat dinginnya air terjun Seribu menggigilkan tubuhku dari panasnya jalan Jakarta-Bogor. Atau saat kuhirup aroma Kapal Api di ketinggian tiga ribu meter, di hutan Gunung Ciremai. Wanginya adalah kenikmatan yang tidak mampu aku baui di kedai kopi ternama. Di dunia yang serba terasa kurang ini, kurasa aku mampu bersyukur pada hal-hal sederhana.

Hujan
Hujan tidak pernah berhasil membuatku mengeluh. Sehebat apapun ia membuatku terlambat ke sekolah, kuyup saat sampai kelas, bahkan menyebabkanku terserang penyakit selama dua minggu. Aku merasakan hadirnya hujan saat yang lain hanya mendapat kebasahan. Bahkan tanpa bermain dengan rintiknya aku tetap bisa menikmati keindahannya. Bagaimana mereka turun atas izin Yang Maha Kuasa membuatku memikirkan kembali kenyataan yang ada. Bahwa setiap peluh dan keluh yang kukeluarkan, Tuhan akan memberikan sandaran, yakni sejuk dan damai yang dibawa hujan untukku. Hanya untukku.

Menikmati hujan menambah satu alasan kenapa aku harus hidup. Sebagian besar orang akan menganggap ini lelucon. Kekacauan yang tidak mampu kau bayangkan akan membuatmu mengejekku lemah bertahan menjalani hidup. Percayalah aku harus berjuang setiap hari untuk tetap sehat dan hidup normal. Cukup berikan aku semangat tanpa bertanya apa yang aku alami, dan aku akan baik-baik saja.

Buku
Ada dua hal yang membuatku suka membaca buku. Pertama, karena itu adalah karya Andrea Hirata. Ia adalah penulis yang mampu membuatku merasa tidak sendirian. Kekejaman dunia dituturkannya dengan bahasa yang indah hingga aku akan menangis sambil tersenyum. Lalu aku bersyukur tidak sendirian menelan pil pahit itu. Bacalah salah satu karyanya dan kau akan mengerti ucapanku. Kedua, tuntutan dari dosen. Setiap mata kuliah yang berbasis teori akan memaksaku membeli buku tebal lalu membacanya. Akibatnya? Aku pandai memahami teori tanpa mahir melakukan pengeditan film.

Buku dapat membuatku meninggalkan dunia nyata. Ia akan mengajakku terbang ke angkasa, melihat indahnya surga, menatap nanar neraka, mendatangi negara Perancis, Inggris, atau ke pedalaman Kalimantan hingga Afrika. Ia membiarkanku merasakan euforia imajinasi hingga dua hari setelah menutup lembar akhir. Buku membebaskanku dari hidup yang sempit. Aku pernah begitu terpana pada luasnya ilmu yang dihadirkan pada lembar-lembarnya. Lagi, aku memiliki satu lagi alasan mengapa aku harus hidup. Aku akan membaca sampai mataku tidak bisa melihat lagi.

Ketiganya tidak memiliki hubungan khusus namun bermakna bagiku. Hidupku akan sempurna dalam ketidaksempurnaan bila aku bisa menikmati secangkir kopi di pagi hari yang hujan dengan sebuah buku Andrea Hirata di tangan kiriku.  




Comments

Popular Posts